Sejarah Persatuan Islam
Persatuan
Islam (Persis) berdiri pada abad ke-20 yaitu pada permulaan tahun
1920-an, tepatnya tanggal 12 September 1923 di Bandung. Adapun yang
pertama mempunyai gagasan terbentuknya Persis ini adalah H. Zam-zam
bersama temannya H. Muhammad Yunus. H. Zam-zam adalah seorang alumnus
Darul-Ulum (Mekah) sejak tahun 1910-1912 beliau menjadi guru agama di
Darul-Muta'alimin. Sedangkan H. Muhammad Yumus adalah seorang pedagang
sukses, di masa mudanya beliau mendapatkan pendidikan agama secara
tradisional dan menguasai Bahasa Arab sehingga beliau mampu mempelajari
kitab-kitab secara autodidak.
H. Zam-zam dan H. Muhammad
Yunus mempunyai latar belakang dan kultur yang sama. Hal inilah yang
menyatukan mereka dalam mendalami keislaman. Mereka juga sering
melakukan diskusi dengan tema sekitar gerakan keagamaan yang bergerak
pada saat itu. Sering juga tema itu muncul dari permasalahan agama yang
dimuat didalam majalah Al-Manar (terbitan Mesir). Salah satu tulisan
yang sangat menyentuh emosi keagamaan mereka adalah tulisan Muhammad
Abdul yang dimuat dalam majalah Al-Manar yaitu "Al-Islam Mahjubun bil
Muslimin". Ungkapan ini sangat terkenal di kalangan pembaharuan
Islam baik di Timur Tengah maupun di Indonesia. Tulisan (ungkapan) ini
menghendaki agar umat Islam memiliki cara berpikir dan corak hidup yang
lebih maju dengan lebih menghidupkan kembali Al-Qur'an dan As-Sunnah
dalam tata hidupnya.
Dalam setiap diskusi, H.
Zamzam dan Muhammad Yunus, merupakan pembicara utama, keduanya banyak
mengemukakan pikiran baru. Keduanya memang memiliki kapasitas dan
wawasan pengetahuan yang cukup luas dalam masalah keagamaan, apalagi
ditunjang oleh profesi H. Zam-zam sebagai guru agama. Di samping itu,
mereka memang mempunyai latar belakang pendidikan agama yang cukup kuat
di masa mudanya.
Suatu saat diskusi mereka
berlangsung seusai acara kenduri di rumah salah seorang anggota keluarga
yang berasal dari Sumatera yang telah lama tinggal di Bandung. Materi
diskusi itu adalah mengenai perselisihan paham keagamaan antara
al-Irsyâd dan Jami'at Khair. Sejak saat itu, pertemuan-pertemuan
berikutnya menjelma menjadi kelompok penelaah, semacam studi club dalam
bidang keagamaan di mana para anggota kelompok tersebut dengan penuh
kecintaan menelaah, mengkaji, serta menguji ajaran-ajaran yang
diterimanya. Diskusi mereka juga dilakukan dengan para jama'ah shalat
Jum'ah, sehingga frekuensi bertambah dan pembahasannya makin mendalam.
Jumlah mereka tidak banyak hanya sekitar 12 orang. Diskusi tersebut
semakin intensif dan menjadi tidak terbatas dalam persoalan keagamaan
saja terutama dikhotomis tradisional-modernis Islam yang terjadi ketika
itu, yang diwakili oleh Jamî'at Khair dan al-Irsyâd di Batavia, tetapi
juga menyentuh pada masalah-masalah komunisme yang menyusup ke dalam
Syarikat Islam (SI), dan juga usaha-usaha orang Islam yang berusaha
menghadapi pengaruh komunikasi tersebut.
Maka
sejak saat itu, timbulah gagasan di kalangan mereka untuk mendirikan
organisasi Persatuan Islam atau nama lain yang diajukan oleh kelompok
ini yaitu Permupakatan Islam, untuk mengembalikan ummat Islam kepada
pimpinan al-Qur'an dan al-Sunnah. Organisasi yang didirikan di Bandung
ini untuk menampung kaum muda maupun kaum tua, yang memiliki perhatian
pada masalah-masalah agama. Kegiatan utamanya adalah diskusi. Setiap
anggota dapat mengajukan masalah keagamaan yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari
Maka dapat disimpulkan bahwa
lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan
(penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan
H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah,
berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok
tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan
karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September
1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini
secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam”
(Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan
ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai
harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita
organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam,
persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini
didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan
berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan)
Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah
hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu
bersama al-jama’ah”.
A. Hassan dari Singapura
pernah berkunjung ke Surabaya pada tahun 1920 dalam hubungan perdagangan
batik keluarganya. Di sanalah ia mulai terlibat diskusi-diskusi agama
dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia sekitar pertentangan antara kaum
muda dan kaum tua, antara paham modernis dan paham tradisional. Ayah A.
Hassan memang termasuk orang yang berpandangan modernis. Maka dapat
dimengerti jika A. Hassan juga sejalan dengan faham kaum muda. Tidak
lama kemudian A. Hassan pindah ke Bandung dan masuk lingkungan Persatuan
Islam. Selanjutnya ia memusatkan kegiatan hidupnya dalam pengembangan
pemikiran Islam dan menyediakan dirinya sebagai pembela Islam.
Sampai
awal tahun 1926, Persatuan Islam masih belum menampakan sebagai
organisasi pembaharu, karena di dalamnya masih bergabung kaum muda dan
kaum tua. Yang penting setiap anggota saling mendorong untuk lebih
mendalami Islam secara umum sebagai agama yang dibawa nabi terakhir,
Muhammad SAW. Namun dari segi penamaan, organisasi ini sejak awal memang
sudah bersifat liberal. Betapa tidak, nama Persatuan Islam yang
disingkat PERSIS adalah nama Latin, yang dianggap sebagai pengaruh
penjajah Belanda. Apalagi sakralitas dan pengidentikan Islam dengan Arab
sangat kuat di kalangan umat Islam ketika itu. Artinya mereka siap
menerima risiko dan mempertahankan pendirian serta keyakinan yang mereka
miliki, atas pemberian nama latin tersebut. Padahal organisasi yang
lebih dulu muncul seperti Jamî'at Khair, Muhammadiyah, dan al-Irsyâd,
menggunakan nama dan bahasa Arab.
Dari segi ini, Persatuan
Islam menghendaki apa yang seharusnya disakralkan dan apa yang tidak
seharusnya disakralkan oleh umat Islam. Karena penilaian terhadap
sesuatu yang bersifat sakral itu berkaitan erat dengan kualitas
ketauhidan dan bahkan pula berkaitan dengan wawasan keislaman yang
dimiliki. Jika setiap berbahasa Arab identik dengan Islam, disitu
wawasan keislaman yang dimiliki seseorang adalah tergolong awam. Hal itu
terbukti kemudian Persatuan Islam menjelma menjadi organisasi yang
paling ekstrim dan liberal dibandingkan dengan Muhammadiyah dan
al-Irsyâd dalam melakukan penentangan terhadap tradisi-tradisi yang
dianggap merupakan ajaran agama Islam, melalui konsep bid'ah, khurafat
dan takhayul.
Tampilnya jam’iyyah
Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal
abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan
Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat
Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok
ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat,
bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu,
umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha
memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya
gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak
intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan
pembaharuan Islam.
1. Tujuan
Persis (Persatuan Islam)
Pada
dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan
Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan
mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi,
tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan
majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan
lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara
kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk
mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara
lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada
tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang
berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman
kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai
buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929),
majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa
(1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948),
majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai
majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan
penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi
yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan
Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis,
undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
2. Aktifitas
Persis (Persatuan Islam)
Sebagai
organisasi, Persatuan Islam memiliki ciri khas dalam gerak dan
langkahnya, yaitu menitikberatkan pada pembentukan paham keagamaan yang
dilancarkan melalui pendidikan dan da'wah lainnya. Aktifitas ini
misalnya berbeda dengan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang sosial dan
pendidikan. Kecenderungan Persatuan Islam untuk menempatkan dirinya
sebagai pembentuk paham keagamaan Islam di Indonesia, hal ini dibuktikan
dalam setiap aktivitas yang dibawa oleh misi Persatuan Islam.
Pedoman
pokok yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip perjuangan kembali
kepada ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah, sekaligus sebagai identitas yang
mewarnai seluruh gerak-langkah organisasi dan anggota-anggotanya, secara
kongkrit tertulis dalam Qanûn Asasi (Anggaran Dasar) dan Qanûn Dakhili
(Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam.
Persatuan Islam bertujuan: Pertama,
mengamalkan segala ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan anggotanya
dalam masyarakat, kedua, menempatkan kaum muslimin pada ajaran aqidah
dan syari'ah berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah. Untuk mencapai tujuan
ini, maka organisasi dijalankan dalam bentuk ber-jama'ah, berimâmah,
berimarah seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Agar organisasi tetap
terarah dalam mengemban misi perjuangannya maka Persatuan Islam
menentukan sifatnya sebagai organisasi pendidikan, tabligh dan
kemasyarakatan yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, dengan rencana
jihad diantaranya: Mengadakan kegiatan-kegiatan dakwah secara lisan,
tulisan dan amal perbuatan dalam masyarakat yang sejalan dengan
al-Qur'an dan as-Sunnah; Melakukan amar ma'rûf dan nahyi munkar dalam
segala ruang dan waktu, membela dan menyelamatkan umat Islam dari
gangguan lawan-lawan Islam dengan cara hak dan ma'rûf yang sesuai dengan
ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah; Menghidupkan dan memelihara rûh
al-jihâd (jiwa perjuangan) dan ijtihâd dalam kalangan para anggota
khususnya dan umat Islam umumnya; Membasmi munkarat, bid'ah, khurafat,
takhayul, taqlîd dan syirk dalam lingkungan anggota khususnya dan umat
Islam umumnya; Memberikan jawaban dan perlawanan terhadap tantangan
aliran yang mengancam hidup keislaman demi tegak dan kokohnya agama
Allah; dan Mengadakan dan memelihara
hubungan yang baik dengan segenap organisasi Islam di Indonesia dan
seluruh dunia untuk menuju terwujudnya bun-yân al-Islâm (bangunan Islam)
yang kokoh.
Dalam
strategi da'wah, Persatuan Islam berlainan dengan Muhammadiyah yang
mengutamakan penyebaran pemikiran-pemikirannya dengan tenang dan damai,
Persatuan Islam seakan gembira dengan perdebatan dan polemik. Bagi
Persatuan Islam dalam masalah agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang
dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur`an dan al-Sunnah secara
tegas ditolak. Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun
pahit.
Latar belakang demikian
itulah tampaknya yang membawa Persatuan Islam ke alam perdebatan, baik
dalam rangka mempertahankan keyakinan keagamaannya maupun menunjukkan
bahwa keyakinan agama yang dipegangi lawan dalam perdebatan itu dianggap
salah. Dalam bidang publikasi melalui media cetak, pertama kali
diterbitkan majalah Pembela Islam pada bulan Oktober 1929 di Bandung.
Majalah tersebut terbit atas prakarsa Komite Pembela Islam yang diketuai
oleh H. Zamzam. Penerbitannya berlangsung sampai tahun 1933 dan
berhasil menerbitkan 72 nomor dengan sirkulasi sebanyak 2000 eksemplar,
tersebar di seluruh pelosok tanah air bahkan sampai ke Malaysia dan
Muangthai.
Pada bulan Nopember 1931,
Persatuan Islam menerbitkan majalah khusus yang membicarakan
masalah-masalah agama, tanpa menantang pihak-pihak bukan Islam. Majalah
ini diberi nama al-Fatwa, ditulis dalam hurup Jawi, sehingga lebih
banyak diminati oleh kalangan muslim di Sumatera,Kalimantan dan
Malaysia. Namun publikasi majalah ini hanya berlangsung sampai Oktober
1933 sebanyak 20 kali terbit dengan sirkulasi 1000 eksemplar. Sebagai
gantinya pada tahun 1935 diterbitkan lagi majalah baru yang bernama
al-Lisan yang berlangsung sampai bulan Juni 1942 dengan 65 nomor
penerbitan. Akan tetapi pada masa itu erat kaitannya dengan perpindahan
A. Hassan, maka nomor 47 (terbit bulan Mei 1940) sampai dengan nomor 65
terbit di Bangil, Pasuruan Jawa Timur.
Majalah
lain yang terbit pada tahun 1930-an ialah al-Taqwâ, sebuah majalah dalam
bahasa Sunda, yang sempat terbit 20 nomor dengan sirkulasi 1000
eksemplar. Ada pula majalah yang berisi artikel-artikel jawaban terhadap
pertanyaan para pembaca, yang umumnya berkenaan dengan masalah agama,
ialah sebuah majalah bernama Sual-Jawab.
Sejalan
dengan situasi politik Indonesia, yaitu masa pendudukan Jepang dan
diteruskan dengan gawatnya revolusi Indonesia, semua penerbitan
Persatuan Islam terhenti. Baru pada tahun 1948 terbit majalah Aliran
Islam meskipun bukan resmi diterbitkan oleh Persatuan Islam, tetapi
selalu memuat tulisan-tulisan tokoh-tokoh seperti Isa Anshary, M. Natsir
dan E. Abdurrahman, yang mengutamakan peranan umat Islam dalam kancah
politik Indonesia.
Pada tahun 1954, di Bangil
terbit majalah al-Muslimûn, yang secara resmi juga tidak diterbitkan
atas nama Persatuan Islam, tetapi tetap mengembangkan paham-pahamnya
terutama yang berkaitan dengan hukum dan pengetahuan agama Islam. Pada
bulan Maret 1956, Persatuan Islam Bangil menerbitkan lagi majalah yang
meneruskan cita-cita Pembela Islam yang diberi nama Himayat al-Islâm
(Pembela Islam). Majalah ini terbit sembilan kali dan berhenti pada
bulan Mei 1957.
Majalah resmi yang
diterbitkan Persatuan Islam pada masa kemerdekaan ialah Hujjat al-Islâm
pada tahun 1956, Setelah Persatuan Islam resmi berdiri kembali pada
tahun 1948 yang berpusat di Bandung. Majalah tersebut hanya terbit satu
kali, kemudian dilanjutkan pada tahun 1962 dengan majalah Risalah, yang
dipimpin oleh KHE. Abdurrahman dan Yunus Anis.
Di
samping majalah-majalah, juga banyak diterbitkan buku-buku karangan
tokoh Persatuan Islam seperti M. Isa Anshary, M. Natsir, KHE.
Abdurrahman dan terutama buku-buku karangan A. Hassan yang yang paling
banyak dan mendominasi kebutuhan baca anggota Persatuan Islam. Namun
sejak saat itu dunia tulis menulis di kalangan ulama Persatuan Islam
mengalami kemandegan, jika tidak boleh dikatakan tradisi itu mati sama
sekali. Misalnya, untuk jenis buku terbaru yang bersifat kajian yang
khas keagamaan Persatuan Islam, yang muncul ke permukaan terlihat baru
ada satu, yaitu buku al-Hidâyah yang ditulis oleh Ustadz A. Zakaria
dalam bahasa Arab, yang kemudian diterjemahkan oleh penulisnya ke dalam
bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam 3 jilid pada tahun 1996.
Selebihnya buku-buku yang beredar masih yang ditulis oleh ulama-ulama
Persatuan Islam periode terdahulu.
Sementara dalam kegiatan
perdebatan, Persatuan Islam, yang diwakili oleh A. Hassan, dan KHE.
Abdurrahman tercatat telah beberapa kali melakukan perdebatan dalam
rangka mempertahankan keyakinan dan sekaligus menunjukkan mana
sesungguhnya ajaran agama Islam yang benar, sekurang-kurangnya dalam
pandangan keagamaan Persatuan Islam. Perdebatan secara terbuka mengenai
masalah taqlîd, talqîn dan lain sebagainya, A. Hassan dengan KH. Wahab
Hasbullah, Salim bin Zindan, H. Abu Chair, KHA. Hidayat, Ahmad Sanusi,
yang bertempat di Bandung, Cirebon, Makasar, Gorontalo dan tempat-tempat
lainnya.
Sementara perdebatan dengan
pihak non muslim, juga pernah terjadi beberapa kali perdebatan, dalam
kurun waktu antara tahun 1930-1940 tercatat dalam verslag debat, laporan
tentang diskusi dengan pihak non-muslim, antara lain yaitu: Perdebatan
dengan orang Kristen Sevendays Adventist, tentang kebenaran agama
Kristen dan Bibel; dan Perdebatan dengan para intelektual Belanda
seperti Dier huis, Eising dan Prof Schoemaker. Yang terakhir ini
kemudian masuk Islam dan menjadi sahabat A. Hassan serta menjadi
co-editor buku Cultur Islam bersama Muhammad Natsir.
Dalam
penyebaran anggota, Persis lebih mementingkan kualitas daripada menambah
jumlah. Deliar Noer menyebut Persis "tidak berminat membentuk banyak
cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Kendati demikian, dalam
keanggotaan yang sedikit itu, Menurut Deliar Noer, masyarakat belum siap
menerima pembaharuan gaya Persatuan Islam, terutama muslim tradisional.
Tetapi ada suatu keistimewaan dalam Persatuan Islam ini yaitu
anggotanya terdiri dari golongan intelektual kendati dalam jumlah
terbatas.
Dengan demikian kegiatan
da'wah yang dilakukan oleh Persatuan Islam menggunakan ragam media. Dari
mulai penerbitan buku, majalah dan jurnal-jurnal lainnya, ceramah, dan
hingga perdebatan.
3. Kepemimpinan
Persis (Persatuan Islam)
Kepemimpinan
Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam,
H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan
roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi
tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada
masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam
dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri
menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang
proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan
reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah
dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941,
kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya
KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E.
Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada
masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil;
pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah
demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah
pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis,
Agama, Komunis (Nasakom)
Setelah berakhirnya periode
kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang
oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai
persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan
munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran
pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah,
Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan
K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA.
(1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses
regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom
kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang
ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu
kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis
cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam
menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
4. Persis
(Persatuan Islam) Masa Kini
Pada
masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada
masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak
terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi
meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat
Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran
keislaman.
5. Mengenal
Tokoh-tokoh Persis (Persatuan Islam)
a. Ahmad
Hassan
Keberadaan
sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga sekarang tidak terlepas
dari peran serta para tokohnya. Demikian pula halnya dengan Persis.
Organisasi yang pertama kali dibentuk oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad
Yunus ini telah melahirkan sejumlah tokoh besar. Mereka menjadi tumpuan
umat dalam memahami masalah agama. Selain Ahmad Hassan (A. Hassan),
salah seorang tokoh dan menjadi guru utama Persis, organisasi Islam ini
juga melahirkan tokoh lainnya, Mohammad
Isa Anshary, KHE Abdurrahman, dan KH Abdul Latief Muchtar. Bagaimana
sosok dan kiprah mereka?
b. Mohammad
Natsir
Dilahirkan
di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada 17
Juli 1908. Ia adalah putra pasangan Sutan Saripado-seorang pegawai
pemerintah-dan Khadijah. Ia pergi ke Bandung pada 1927 untuk melanjutkan
studinya di AMS A-2 (setingkat SMA sekarang).Di Kota Kembang ini, minat
Natsir terhadap agama semakin berkembang. Karena itu, selama di
Bandung, Nastir berusaha memperdalam ilmu agamanya dengan mengikuti
pengajian-pengajian Persis yang disampaikan Ahmad Hassan. Selain itu,
Natsir juga mengikuti pelajaran agama di kelas yang khusus yang diadakan
oleh Ahmad Hassan untuk anggota muda Persis yang sedang belajar di
sekolah milik Pemerintah Belanda.
Bahkan, dengan inisiatif
Natsir, Persis kemudian mendirikan berbagai lembaga pendidikan, antara
lain Pendidikan Islam ( Pendis ) dan Natsir sebagai direkturnya (
1932-1942 ) serta Pesantren Persatuan Islam pada 4 Maret 1936. Keberadaan
sekolah-sekolah ini ditujukan untuk membentuk kader-kader yang
mempunyai keinginan memperdalam dan mampu mendakwahkan, mengajarkan, dan
membela ajaran Islam. Natsir adalah orang yang terlibat langsung dalam
proses kaderisasi di bawah bimbingan Ahmad Hassan.
Dengan
demikian, Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan Persis. Di bawah
kepemimpinannya, Persis menjelma menjadi organisasi yang bukan hanya
berupa kelompok diskusi atau pengajian tadarusan kelas pinggiran,
melainkan sebuah organisasi Islam modern yang potensial. Dalam waktu
singkat, ia berhasil menempatkan Persis dalam barisan organisasi Islam
modern.
c. Mohammad Isa Anshary
Masa
setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan periode
kedua Persis sesudah kepemimpinan KH Zamzam, KH Muhammad Yunus, Ahmad
Hassan, dan Mohammad Natsir yang mendengungkan slogan “Kembali kepada
Alquran dan As-Sunnah”. Pada periode kedua ini, salah seorang tokoh
Persis yang pernah memimpin adalah KH Mohammad Isa Anshary. KH Mohammad Isa Anshary lahir di
Maninjau Sumatra Tengah pada 1 Juli 1916. Pada usia 16 tahun, setelah
menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam di tempat kelahirannya, ia
merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan
umum. Di Bandung pula, ia memperluas cakrawala keislamannya dalam
Jam’iyyah Persis hingga menjadi ketua umum Persis.
Tampilnya
Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan Persis dimulai pada 1940 ketika ia
menjadi anggota hoofbestuur ( Pusat Pimpinan ) Persis. Tahun
1948, ia melakukan reorganisasi Persis yang mengalami kevakuman sejak
masa pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tahun 1953 hingga 1960,
ia terpilih menjadi ketua umum Pusat Pimpinan Persis.
Selain sebagai mubaligh, Isa
Anshary juga dikenal sebagai penulis yang tajam. Ia termasuk salah
seorang perancang Qanun Asasi Persis yang telah diterima
secara bulat oleh Muktamar V Persis ( 1953 ) dan disempurnakan pada
Muktamar VIII Persis ( 1967 ). Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary
menganggap perjuangan Persis sungguh vital dan kompleks karena
menyangkut berbagai bidang kehidupan umat. Dalam bidang pembinaan kader,
Isa Anshary menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina
kader-kader muda Persis.
Semangatnya dalam hal
pembinaan kader tidak pernah padam meskipun ia mendekam dalam tahanan
Orde Lama di Madiun. Kepada Yahya Wardi yang menjabat ketua umum
Pimpinan Pusat Pemuda Persis periode 1956-1962, Isa Anshary mengirimkan
naskah “Renungan 40 Tahun Persatuan Islam” yang ia susun dalam tahanan
untuk disebarkan kepada peserta muktamar dalam rangka meningkatkan
kesadaran jamaah Persis. Melalui tulisannya, Isa Anshary mencoba
menghidupkan semangat para kadernya dalam usaha mengembangkan serta
menyebarkan agama Islam dan perjuangan organisasi Persis. Semangat ini
terus ia gelorakan hingga wafatnya pada 2 Syawal 1389 H yang bertepatan
dengan 11 Desember 1969.
d. KHE Abdurrahman
KH
Endang Abdurrahman tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa,
dan berwawasan luas. Dengan gaya kepemimpinan yang luwes, ia telah
membawa Persis pada garis perjuangan yang berbeda: tampil low profile
dengan pendekatan persuasif edukatif, tanpa kesan keras, tetapi
teguh dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Abdurrahman
dilahirkan di Kampung Pasarean, Desa Bojong Herang, Kabupaten Cianjur,
pada Rabu, 12 Juni 1912. Ia merupakan putra tertua dari 11 bersaudara.
Ayahnya bernama Ghazali, seorang penjahit pakaian, dan ibunya bernama
Hafsah, seorang perajin batik.
KH Aburrahman dikenal
sebagai seorang ulama besar dan ahli hukum yang tawadhu. Ia lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab-kitab, mengajar di
pesantren, dan hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian. Sosok
ulama Persis yang satu ini, sebagaimana ditulis Fauzi Nur Wahid dalam
bukunya KHE Abdurrahman: Peranannya dalam Organisasi Persatuan Islam,
semula memiliki pemahaman keagamaan yang bersifat tradisional. Namun,
pada kemudian hari, ia beralih menjadi ulama yang berpegang teguh pada
Al-Quran dan Sunnah serta menentang berbagai ibadah, khurafat, dan
takhayul.
Pada masa kepemimpinannya,
banyak persoalan mendasar yang dihadapi Persis. Di antaranya, bagaimana
mempertahankan eksistensi Persis di tengah gejolak sosial politik yang
tidak menentu. Jihad perjuangan Persis dihadapkan pada masalah-masalah
politik yang beragam. Selain itu, Persis juga berhadapan dengan
aliran-aliran yang dianggap menyesatkan umat Islam. Untuk menghadapi
aliran tersebut, ia memerintahkan para mubaligh Persis dan organisasi
yang ada di bawah Persis untuk terjun ke daerah-daerah secara rutin
dalam membimbing umat.
e. KH Abdul Latief Muchtar
Dilahirkan
di Garut pada 7 Januari 1931 dari pasangan H Muchtar dan Hj Memeh.
Sejak kecil, KH Abdul Latief Muchtar sudah bersentuhan dengan Persis
hingga akhirnya menjadi ketua umum Persis, menggantikan KHE Abdurrahman
yang wafat. Jika Persis kini tampak low profile, itu semua tidak
lepas dari kepemimpinan KH Abdul Latief. Pada masa kepemimpinannya,
Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya
yang lebih realistis dan kritis.Pada masa awal jabatannya sebagai ketua
umum Persis, KH Abdul Latief dihadapkan pada keguncangan jamaah Persis
karena adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menuntut semua
organisasi kemasyarakatan ( ormas ) di Indonesia mencantumkan asas
tunggal Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasar organisasinya.
Persoalan
asas tunggal ini dihadapi dengan visi dan pemikiran KH Latief yang
akomodatif. Ia mencoba menjembatani persoalan ini dengan baik.
Dalam bidang jam’iyyah
( organisasi ), KH Latief bertekad menjadikan organisasi Persis makin
terbuka ( inklusif ). Persis harus mampu diterima semua kalangan, tanpa
ada kelompok yang merasa takut dengan keberadaannya.
KH
Latief bercita-cita mengembangkan objek dakwahnya ke lingkungan kampus.
Baginya, kampus adalah lembaga intelektual yang harus dirangkul dan
diisi dengan materi dakwah yang tepat. Karena itulah, ia mendukung
sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis di berbagai
perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Himpunan
Mahasiswi Persis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar